SEBUAH IMPIAN LINGKUNGAN
Penulis : Ir. Nugroho Widiarto, M.Si.
(Pegiat Ekologi Pusat Pengelolaan Ekoregion Jawa)
Artikel sudah mendapat persetujuan dari Penulis, untuk dipublikasikan di blog ini. |
Permasalahan Lingkungan
Kualitas lingkungan di tingkat lokal, regional, nasional maupun global dari waktu ke waktu semakin menurun dan telah mengarah pada bencana lingkungan. Pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan yang terjadi yaitu : Pencemaran air oleh limbah industri dan limbah rumah tangga (domestik), Pencemaran udara di kota-kota besar, Pencemaran limbah domestik dan sampah, Kontaminasi dari bahan berbahaya dan beracun (B3), Kerusakan ekosistem hutan, Kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS), Kerusakan ekosistem danau dan situ, Kerusakan ekosistem pesisir dan laut oleh abrasi dan pencemaran, semakin meluasnya lahan kritis, kerusakan terumbu karang data yang sempat terekam 14% dalam kondisi kritis 46% mengalami kerusakan 33% dalam kondisi baik dan hanya 7% kondisinya sangat baik, Kerusakan lingkungan akibat kegiatan pertambangan, Pemanasan bumi, Penipisan lapisan ozon dan Bencana lingkungan yang silih berganti seperti banjir dan longsor, kekeringan, kebakaran hutan dan lahan, alih fungsi lahan, tata ruang dan persoalan kelembagaan pengelola lingkungan.
Permasalahan lingkungan tersebut semakin diperparah dengan pertambahan penduduk yang meningkat cukup tajam, pada tahun 1980 penduduk Indonesia berjumlah 146.935.000 jiwa pada tahun 1990 meningkat menjadi 178.500.000 jiwa (bertambah 1,97%), sedangkan pada tahun 2000 bertambah menjadi 205.850.000 jiwa atau naik 1,49% masalah kependudukan inilah yang menyebabkan peningkatan eksploitasi sumberdaya alam secara besar-besaran yang menyebabkan terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan.
Permasalahan Penegakan Hukum
Konsepsi penegakan hukum lingkungan menurut UU 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup ada 2 (dua) pendekatan yaitu sanksi administrasi seperti penyelesaian sengketa lingkungan diluar pengadilan berupa : Negosiasi (=penyelesaian sengketa lingkungan hidup dilakukan langsung antara masyarakat dengan pelaku pencemaran melalui wakil mereka), Mediasi (=penyelesaian sengketa lingkungan hidup diselenggarakan lewat jasa Mediator), Konsiliasi (=penyelesaian sengketa lingkungan hidup diselenggarakan melalui jasa Konsiliator), dan Pencari Fakta (=penyelesaian sengketa lingkungan hidup memakai jasa Pencari Fakta), dan penyelesaian sengketa di pengadilan (Gugatan Perdata) yaitu tanggungjawab mutlak (strict liability), class action dan legal standing dan Sanksi Pidana. Namun demikian, perjalanan upaya penegakan hukum dalam penyelesaian lingkungan hidup masih jauh dari harapan, proses penegakan hukum lingkungan membutuhkan waktu yang cukup lama dan pembiayaan yang cukup besar serta pembuktian secara ilmiah dan cukup rumit sementara hasilnya kurang signifikan, banyak kasus lingkungan yang diputus “kurang adil”, diputus percobaan bahkan bebas murni, dalam upaya gugatan perdatapun hasilnya juga sama saja, ganti rugi yang diberikan atau disepakati kurang signifikan dengan dampak pencemaran dan/atau kerusakan yang ditimbulkan dan pengalokasian ganti rugi yang didapat tidak menyentuh pada upaya pemulihan lingkungan, sementara pencemaran dan/atau perusakan lingkungan masih terus terjadi.
Krisis Moral Terhadap Lingkungan
Masalah lingkungan hidup memiliki kesatuan yang amat integral dengan masalah moral, atau persoalan perilaku manusia. Lingkungan hidup bukanlah semata-mata persoalan teknis. Dengan demikian, krisis ekonomi yang kita alami adalah juga merupakan persoalan moral. Sehingga perlu etika dan moralitas untuk mengatasinya. Krisis lingkungan dewasa ini hanya bisa diatasi dengan melakukan perubahan cara pandang dan perilaku manusia terhadap alam yang fundamental dan radikal, yang dibutuhkan adalah sebuah pola hidup yang berwawasan lingkungan tidak hanya menyangkut individu, tetapi juga budaya masyarakat secara keseluruhan.
Pandangan hidup ini mencerminkan pandangan yang holistik terhadap kehidupan, yaitu bahwa manusia adalah bagian dari lingkungan tempat hidupnya, dalam pandangan ini sistem sosial bersama sistem biogeofisik membentuk satu kesatuan yang tidak terpisahkan (ekosistem) dengan demikian manusia merupakan bagian dari ekosistem sehingga keselamatan dan kesejahteraannya tergantung dari keutuhan lingkungan, apabila lingkungan rusak atau tercemar maka manusia akan merasakannya.
Persoalan etika lingkungan bersumber dari cara pandang yang keliru dengan antroposentrisme, yang memandang bahwa manusia sebagai pusat dari alam semesta, dan hanya manusia yang mempunyai nilai, sementara alam dan segala isinya sekedar pemuasan kepentingan dan kebutuhan hidup manusia. Manusia sebagai penguasa atas alam yang boleh melakukan apa saja sehingga melahirkan sikap dan perilaku eksploitatif tanpa kepedulian sama sekali terhadap alam dan segala isinya yang dianggap tidak mempunyai nilai pada diri sendiri.
Etika dangkal inilah sebenarnya yang menjadi persoalan yang mendasar terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan, sehingga perlu segera merubah cara pandang tersebut menjadi “etika dalam” untuk perbaikan lingkungan, langkah yang segera dilakukan adalah penanaman nilai-nilai kesadaran lingkungan hidup, yang ditanamkan sejak usia dini, dimulai dari dalam kehiduan rumah tangga serta merumuskan dan melaksanakan kurikulum pendidikan berbasis lingkungan hidup di tingkat Taman Kanak Kanak, Sekolah Dasar, SMP, SLTA dan Perguruan Tinggi.
Permasalahan Kerjasama
Dalam pengelolaan lingkungan dan pengendalian dampak lingkungan hidup, kerjasama antar sektor dan antar daerah sangat diperlukan, alasan melakukan kerjasama dalam pengelolaan lingkungan hidup karena adanya permasalahan lingkungan yang memberi potensi dan sebaran dampak besar dan penting bagi daerah, sehingga memerlukan pengelolaan secara terintegrasi dan terpadu lintas sektor dan lintas batas, dengan demikian perlu kesepahaman bersama dalam melihat permasalahan lingkungan.
Selain itu dalam rangka efisiensi, tepat waktu, tepat sasaran dan hasil optimal di bidang lingkungan, sektor dapat mengadakan kerjasama dengan sektor lain yang didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan efektivitas pelayan publik, penerapan sistem insentif, kemitraan sinergi dan saling menguntungkan. Demikian pula pelaksanaan urusan sektor di bidang pengelolaan lingkungan dan pengendalian dampak lingkungan, maka pelaksanaannya dilakukan secara bersama antara daerah yang bersangkutan dengan keputusan bersama. Tujuan dari kerjasama tersebut secara garis besar adalah : mendorong terciptanya kerjasama yang baik antara sektor dalam pengelolaan lingkungan hidup yang sinergis dan terpadu, mendorong terakomodasikannya semua kepentingan stakeholders (pemangku kepentingan) dalam pengelolaan lingkungan hidup antar sektor, menghindari terjadinya konflik antar sektor dala pengelolaan lingkungan hidup dan mendukung pembangunan berkelanjutan. Pelaksanaan kerjasama ini dapat terwujud jika masing-masing sektor memahami manfaat yang akan diperoleh dari pelaksanaan kerjasama. Oleh karena itu, formulasi bentuk kerjasama yang dituangkan dalam sebuah nota kesepakatan bersama (kerangka kerjasama konseptual) perlu ada komitment-komitment dan menjadi kebutuhan yang tidak dapat dihindarkan
Bentuk kerjasama pelaksanaan pembangunan oleh beberapa daerah telah diwujudkan teruma daerah yang berada dalam satu cluster misalnya Surakarta-Boyolali-Sukoharjo-Karanganyar-Wonogiri-Sragen-Klaten (Subosukawonosraten), Yogyakarta-Sleman-Bantul (Kartamantul), Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi (Jabodetabek), namun seriring dengan pelaksanaan otonomi daerah (OTDA) yang mana justru membawa dampak pada peningkatan ego daerah/ego sektoral, maka pelaksanaan kerjasama pembangunan lebih banyak dilakukan secara partial, sehingga tujuan awal dari kerjasama tidak terwujud, hal ini hampir melanda disemua daerah bahwa MoU hanya sekedar MoU tanpa ada monitoring dan evaluasi.
"GREEN PARTY"
Gambaran persoalan lingkungan hidup dan berbagai usaha penyelesaian lingkungan belum menunjukkan hasil yang diharapkan karena sebenarnya usaha pelestarian lingkungan hidup mempunyai berbagai dimensi, salah satu dimensi yang menentukan keberhasilan adalah Dimensi Politik dan perlunya komitmen dan kesadaran yang sangat tinggi, maka sudah waktunya sebenarya kita berfikir bahwa persoalan lingkungan perlu didekati dengan Dimensi Politik. Di era reformasi sekarang ini partai politik memegang peran yang amat menentukan. Di sebuah negara demokratis, partai politik menjadi pilarnya. Partai politik menghasilkan kader yang memberikan alternatif kebijakan, tentunya termasuk ikut menentukan siapa yang akan menjabat atau duduk dalam sebuah jabatan publik.
Isu lingkungan sebenarya merupakan isu yang cukup strategis, maka tidak heran apabila ada partai politik yang visi dan misinya pro terhadap pelestarian lingkungan, sehingga isu lingkungan menjadi salah satu propaganda partai politik untuk meraih dukungan masa dalam pemilu. Harapan pelestarian fungsi lingkungan cukup besar dibebankan pada partai politik, namun yang terjadi hampir semua persoalan lingkungan tidak bisa diselesaikan olah partai politik, seperti penjual jamu, semua menyampaikan program unggulan masing-masing entah peningkatan ekonomi, peningkatan pendidikan, peningkatan kesejahteraan, jaminan berusahaan, demokrasi, dan jarang ada parpol yang menyampaikan program unggulan dan melaksanaan program ugulan berupa Pelestarian Fungsi Lingkungan. Bahkan realitasnya, banyaknya partai politik di Indonesia setelah masa reformasi hingga sekarang tidaklah kondusif bagi kehidupan politik nasional. Pasalnya, hampir semua partai politik, baik yang besar maupun yang kecil, tidak pernah sepi dari konflik yang terjadi. Kondisi seperti itu menyebabkan energi partai politik habis terkuras hanya untuk soal-soal yang tidak substansial dan program-program unggulan tidak bisa dilaksanakan
"Green Partai", satu pertanyaan yang mesti dikaji yakni, mengapa harus "Green Partai..?" Ada beberapa alasan politis yang perlu dipahami. Pertama : bahwa usaha pelestarian lingkungan hidup mempunyai berbagai dimensi, salah satu dimensi yang menentukan keberhasilan adalah dimensi politik, Kedua : timbulnya berbagai bencana lingkungan yang persaoalanya tidak bisa diselesaikan dengan teknis, Ketiga : tidak ada lagi organisasi politik yang cukup berwibawa yang bisa dipercaya untuk mengemban amanah pelestarian fungsi lingkungan, Keempat : setiap kekuatan sosial dalam masyarakat korban pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan akan menjelma menjadi kekuatan politik yang dengan agresif berupaya memengaruhi proses politik dan Kelima : adanya kekecewaan terhadap kinerja pemerintah dalam pengelolaan lingkungan hidup. Dengan lahirnya partai hijau ini merupakan pertanda bahwa legitimasi pemerintah yang diproduksi oleh parpol-parpol lama sudah lapuk sehingga perlu ada pemerintah baru yang dihasilkan oleh partai politik baru yang benar-benar berjuang hanya untuk Pelestarian Fungsi Lingkungan.
Agresivisme mendirikan "Partai Hijau" mencerminkan "haus kekuasaan hijau" dan merupakan manifestasi hak politik untuk terlibat dalam berpolitik. Harapan adanya pembaharuan dalam persoalan lingkungan hidup akan muncul, bukanlah nama partainya, namun dapat diukur kinerjanya. Kalau partai konsisten dalam pelaksanaan visi dan misinya maka kepercayaan rakyat akan tumbuh. Dampaknya "Partai Hijau" tersebut akan mendapat dukungan yang luas dari masyarakat. Buat apa membuat partai baru kalau kinerjanya sama saja dengan partai lama yang sudah ada ? Hal ini justru akan memperburuk iklim demokrasi dan tanpa disertai kinerja yang baik akan menimbulkan antipati dari masyarakat.
Alasan lainnya adalah pemilihan langsung DPR/D, Presiden dan wakil presiden itu sendiri, sekarang tidak ada jaminan bahwa konstituen partai politik tertentu akan otomatis menjadi konstituen DPR/D/Presiden/Wakil Preseiden yang diajukan partai politik tersebut. Menghadapi pemilu legislatif, partai politik tidak bisa berharap banyak pada pemilih (voters) dan bisa jadi para pemilih setia (loyal voters) menjadi swing voters alias pemilih yang bisa condong ke mana saja karena bisa jadi pemilih menjadi korban pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan atau pemilih yang mempunyai “etika lingkungan dalam”.
Dialog publik sebagai langkah awal dalam membedah komitmen caleg "Partai Hijau" terhadap pelestarian fungsi lingkungan dan keadilan lingkungan hidup diselenggarakan Kaukus Lingkungan dengan tujuan untuk melihat komitmen partai terhadap lingkungan dan akan dibawa kemana Indonesia dalam menghadapai berbagai persoalan lingkungan. Para Caleg yang hadir menyampaikan visi dan misi parpolnya menyangkut masalah lingkungan. Dengan adanya komitmen dari partai politik terhadap isu lingkungan maka ketika mereka masuk menjadi legislatif, mereka nantinya akan mampu mempengaruhi kebijakan pemerintah yang berpihak terhadap pelestarian lingkungan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar